jam

4 Nov 2010

cerita haru malam tahun baru

Rabu, 9 Januari 2008 bertepatan dengan 1 Muharram 1429H. Tidak sperti biasanya sih, malam itu aku bersama seorang teman baru selesai mengikuti Syura di DPD Hizbul 'Adalah wa Rafahiyyah Kab. Tangerang. Masih ngebahas masalah Pemenangan PilBup Ust. Jazuli Juwaini - Airin RD. Sekitar pukul 23.00 aku tiba di Halte Kebon Nanas menunggu bus jurusan Balaraja. Lama menunggu, tapi yang ditunggu tak kunjung tiba. Hampir 1/2 jam aku duduk manis di halte yang sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang yang masih nampak di situ, yang juga menunggu bus yang bisa mengantarkan mereka ke tujuan masing-masing. Juga nampak beberapa penjual makanan yang masih sabar menjemput malaikat Mikail yang mungkin berbagi rizqi malam itu. Malam makin larut, tapi sorot mataku tiba-tiba melihat sekelompok anak-anak jalanan yang masih aktif mengejar-ngejar angkot dan bus untuk sekedar mendapatkan recehan dari para dermawan. Seakan tak punya lelah mereka, aneka canda dan tawa pun memecah keheningan malam.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang anak kecil yang agak malu-malu sambil senyum-senyum menghampiri diriku yang dari tadi duduk sembari mengawasi kondisi sekitar." Mungkin dia adalah bagian dari anak-anak yang sejak tadi aku perhatikan" Gumamku dalam hati. Dari kondisi tubuh dan pakaiannya, nampaknya memang benar dia adalah  juga anak jalanan yang biasa beroperasi di situ. Saat itu kulihat wajahnya pucat, pakainanya lusuh, tubuhnya kurus kering seakan ia punya beban yang sangat menyesakkan dada.

Ia semakin mendekat dan duduk tepat disampingku, sembari bertanya, "Mau pulang ke mana Om?" Seketika itu konsentrasiku tertuju penuh ke arahnya, "Ini dari tadi nunggu bus jurusan Balaraja, tapo kok dah lama belum ada juga ya...."

Tak sengaja, tanganku memegang pundahnya sembari memijat-mijat penuh kasih sayang. Memang dari dulu aku paling tidak tega melihat anak kecil yang susah. "Dik namanya siapa? Kok malam-malam begini masih di sini, mana rumahnya?" Tanyaku kemudian penuh selidik. "Nama saya Muhamamd Eka, Om. Saya gak punya rumah Om, tiap malam saya tidur ya di sini ini, inilah rumahku Om. Bapak dan Ibu udah lama meninggal dan sekarang saya dah gak punya siapa-siapa"

Astaghfirullah, sungguh sangat keget diriku mendengar penuturan si anak kecil itu, yang mengaku bernama Muhammad Eka. Kemudian aku memberondong dengan berbagai pertanyaan penuh ingin tau. "Emangnya rumah Bapak/Ibu Dik Eka dulu di mana?" Dengan begitu sedih dia bercerita, "Saya asli Salatiga. Dulu Bapak/Ibu punya rumah gubug, tapi kemudian digusur, bilangnya sih mau didirikan Mall di situ. Kami gak bisa berbuat apa-apa selain pasrah"

"Kok dik Eka bisa sampai disini, sama siapa?" Tanyaku  menimpali. "Ikut bus Om. Waktu itu saya dari Salatiga sendirian, terus naik bus bagus banget. Di dalamnya ada TVnya, ada Toiletnya, ada Selimutnya. wah pokoke bagus banget lho Om. Canggih bener ya Om. Tapi kok bisa ya, emangnya listriknya dari mana Om. Terus kalau ada orang yang pipis di situ buangnya ke mana ya Om?" Begitu polosnya dia menjawab dan bercerita.

Aku gak menjawab rasa penasarannya, justru aku kembali meniyakan dan bertanya, "Ooo... begitu ya, ..... Eh, apa Dik Eka dulu pernah sekolah?" "Iya Om, dulu Eka baru TK terus putus gak sekolah lagi. Sekarang Eka dah 12 tahun. Kalau sekolah kira-kira udah kelas berapa ya Om, udah SMP belum Om??? Asyik ya Om, kalo bisa sekolah...., Eh Om dah punya anak berapa?" Ada-ada aja anak ini tanyanya. Aku tersenyum, "Om belum punya anak, karena Om belum punya istri. Om masih bujang, belum ada yang mau....."

Spontan ia menimpali, "Masak sih Om, dah tua begini kok belum punya istri? Cepetan nyari Om, nanti keburu tambah tua lho..." Sebenarnya malu juga sih, Apa bener ya aku dah kelihatan tua banget, perasaan gak juga. Tapi bener juga kali, saat ini kalau dihitung berdasarkan kalender Hijriyyah, usiaku dah hampir 27 tahun (tepatnya 27 Rajab 1429H beberapa bulan yang akan datang). Berarti udah 2 tahun lebih tua dari usia Rasul saat Beliau menikah. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah beberapa kali mencoba mengkhitbah, tapi belum juga ada yang cocok. Wallahu a'lam, mungkin belum saatnya. Inilah ujian kesabaran. Tugas kita kan hanya mempersiapkan diri, soal kapan dan siapa biarlah terserah Allah, karena itu hak prerogatifNYA. Hehehehe.... biasa sedikit menghibur.

Kemudian si Eka tanpa diminta melanjutkan ngomong, seolah memberi nasihat padaku. "Om, nanti kalau cari istri yang pake jilbab ya Om. Gak usah cantik-cantik Om, yang penting hatinya baik, akhlaqnya bagus. Pokoknya pilih yang sholihah ya Om. Kan kalau hatinya sudah baik nantinya tidak bikin susah. Cantik kalau hatinya gak baik percuma Om, bisa-bisa Om sendiri yang susah. Om, tadi sore Eka di sini lihat banyak cewek pake jilbab lho Om, kayaknya sholihah deh."

"Om, tadi siang Eka menemukan koper besar. Ada uang sama photonya Om. Uangnya tuh warnanya merah angkanya 1 nolnya ada 5. Itu uang berapa ya Om?? Seratus ribua ya?. Uangnya gak cuma satu, tapi satu tumpuk banyak sekali. Tapi Eka gak berani ngambil. Terus ada orang datang, katanya itu kopernya ketinggalan, kukasih deh sama dia. Tapi Eka kok gak di kasih upah ya Om?. Uang kok banyak banget segitu emang dipake untuk apa Om? dapetnya dari mana Om?. Om, nanti kalau Om nemu uang segitu banyak lebih baik di kasih ke mesjid aja, biar dapet pahala banyak, tadi jika gak ada orangnya pasti sudah Eka taruh di mesjid itu...."

Subhanallah, diam-diam aku sangat terharu dan trenyuh mendengar kepolosan cerita-ceritanya. Hatinya masih murni, jujur dan sangat baik. Aku gak tau siapa yang telah mengajarinya dengan nilai-nilai moral seperti itu., padahal menurut ceritanya ia tidak pernah sekolah, bahkan nilai uang seratus ribu pun ia tidak tau, karena mungkin memang tidak pernah pegang. Lagipula, sehari-hari ia hidup di tengah-tengah hiruk pikuknya keramaian lalu lintas kendaraan kota. Tentunya disitu banyak sekali pengaruh-pengaruh jelek. Sungguh, kulihat ia justru lebih baik dari para pejabat yang korup, suka main suap, gila jabatan, gila harta dan saling jegal dengan menghalahlan segala cara.

Lagi-lagi, hatiku seakan marah, mengapa di sebuah kota besar sekelas Jakarta masih ada anak-anak yang hidup sangat memprihatinkan. Lalu kemana saja para pemimpin selama ini? Apa memang Beliau-beliau tidak tau atau hanya pura-pura tidak tau akan kondisi rakyatnya? Na'udzubillah, Hatiku bertambah gemuruh saat aku mendengar penuturan Dik Eka, bahwa sudah 2 hari ia tidak makan, hanya minum saja. Masya Allah, anak sekecil ini, 2 hari  gak makan??? Sungguh sangat ironis. Padahal sering kita jumpai, banyak orang-orang kaya Ibu kota yang sering berlebih-lebihan dalam makan. Bahkan boleh jadi, jatah makannya untuk 1 hari bisa menghidupi masyarakat 1 RT. Inikah, yang namanya Indonesia????

Aku tidak bermaksud menyalahkan siapa-siapa. Biarlah cerita ini kuambil sendiri sebagai bahan muhasabah  akhir tahun ini. Sungguh aku sangat malu, sering diriku merasa susah, padahal jauh di luar sana masih banyak saudara-saudara yang lebih susah. Bahkan makan saja mereka harus berjuang mati-matian ditengah bahaya yang menghadang. Kisah Muhammad Eka di atas, hanyalah satu dari sekian banyak permasalahan sosial di negara kita.

Sempat aku berpikir, Apa salah mereka, sehingga mereka harus menanggung beban hidup yang sedemikian berat? Kehilangan rumah, orang tua, saudara. Tidak bisa makan kenyang, tidak pernah bisa merasakan hangatnya selimut malam, tidak bisa sekolah, tidak pernah punya uang, dan seabrek tidak-tidak yang lain....... Terkadang tidak bisa dilogika, untungnya kita orang beriman. Akhirnya harus kita nyakinkan. Semua yang terjadi adalah atas kehendak dari Allah SWT. Ujian seberat apapun, pasti telah dipertimbangkan olehNYA. Yang jelas Allah tidak akan membebani kita diluar kesanggupan kita. Itulah janjiNYA. Boleh jadi ujian yang dialami oleh Muhammad Eka dan lainnya, itulah yang terbaik buatnya. Aku yakin itu..... Boleh jadi dari ujian itulah mereka akan sukses dunia-akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar